PPP Usul RUU Anti-LGBT Pascaputusan MK
Reni Marlinawati (Foto : istimewa)
Jakarta, Kabar28.com,- Fraksi PPP di DPR menyebut putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan menolak gugatan soal LGBT bukan berarti melegalkannya. PPP memberi penjelasan soal arti penolakan gugatan tersebut.
"Putusan tersebut bukan berarti MK melegalkan perbuatan LGBT, namun MK menyerahkan perumusan norma soal LGBT ke pembuat undang-undang (law maker), yakni DPR dan pemerintah," ujar Ketua Fraksi PPP Reni Marlinawati dalam keterangannya, Kamis (21/12/2017).
DPR hingga saat ini memang masih merumuskan perubahan RKUHP. Reni meminta anggota fraksinya yang membahas RKUHP untuk berjuang memasukkan norma ketentuan LGBT dalam UU KUHP sebagai perluasan makna dari perzinahan.
Fraksi PPP, dikatakan Reni, juga akan melakukan komunikasi intensif dengan seluruh fraksi di DPR agar setuju dengan rumusan yang diusulkan Fraksi PPP. Salah satu usulannya adalah RUU Anti-LGBT.
"Terkait dengan LGBT ini, Fraksi PPP DPR RI juga telah mengusulkan RUU Anti-LGBT sebagai RUU inisiatif yang diusulkan oleh Fraksi PPP," jelas Reni.
Fraksi PPP dikatakan Reni juga melakukan komunikasi politik secara intensif, khususnya dengan pemerintah. PPP sebagai bagian dari partai koalisi di pemerintahan, mendorong pemerintah agar memasukkan LGBT menjadi bagian dari tindak pidana sebagai konsekwensi dari perluasan makna atas tindak pidana zina.
Upaya ini, dijelaskan Reni, semata-mata dimaksudkan untuk tidak mengabaikan aspirasi dari masyarakat serta mewujudkan cita hukum Indonesia yang sarat dengan nilai agama sebagaimana tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945.
"Komitmen politik amar ma'ruh nahi munkar yang dilakukan PPP tidak pernah dan tidak akan surut dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat. Karena PPP senantiasa bersama rakyat dan ulama sebagai pilar utama partai ini," jelas Reni.
MK menolak mengadili gugatan soal lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). MK menyatakan perumusan delik LGBT dalam hukum pidana Indonesia masuk wewenang DPR-presiden.
Dalam pertimbangannya, majelis menganggap kewenangan menambah unsur pidana baru dalam suatu undang-undang bukanlah kewenangan MK, melainkan kewenangan presiden dan DPR
Sumber : detik.com