Kenakalan Pelajar Yogya di Luar Ambang Batas Wajar


Ilustrasi pelajar (Foto : istimewa)
Yogyakarta, Kabar28.com, - Tindakan kriminal pelajar di Kota Yogyakarta dinilai sudah melampaui ambang batas kewajaran. Pelajar di bawah umur keluyuran malam mengendarai motor sambil melengkapi diri dengan senjata tajam.
Fenomena tak wajar di Kota Pelajar itu membuat banyak kalangan prihatin, mulai dari penegak hukum di kepolisian, pemerintah daerah, praktisi, kalangan pendidikan dari guru, mahasiswa, hingga pelajar lain.
Begitu juga orangtua, tokoh agama, dan juga akademisi mulai dari psikolog, kriminolog, budayawan, aktivis, pemerhati tumbuh kembang anak, hingga beragam elemen dalam komunitas-komunitas yang ada di masyarakat.
Kenakalan remaja di luar batas itu dikupas detail dalam obrolan santai “ngopi bareng” bersama anggota komisi I DPR RI Sukamta di Rembug Kopi, Jalan Veteran No 148 Umbulharjo, Kota Yogyakarta, belum lama ini.
"Banyak orangtua di luar Yogya yang menyekolahkan anaknya di sini mengalami kecemasan. Mereka resah dengan fenomena Yogya yang notabene kota pendidikan, kota pelajar, terjadi tindakan luar biasa yang banyak orang menyebutnya 'klitih'. Ini persoalan serius, mengkhawatirkan sekali," kata Sukamta membuka obrolan santai ini.
Berkaca dari kasus tewasnya Ilham Bayu Fajar, pelajar kelas IX SMP Piri Yogyakarta akibat dibacok dengan celurit oleh pelajar lain, Ditreskrimum Polda DIY Kombes Pol Frans Tjahyono menyampaikan detail kasus yang terjadi pada Minggu 12 Maret 2017 dini hari sekira pukul 01.00 WIB di Jalan Kenari, Kota Yogyakarta itu.
Dua hari pasca-kejadian, tujuh remaja dari sembilan orang yang sebagian besar masih sekolah di bangsu SMP dan satu SMA sudah berhasil ditangkap polisi. Dua bilah senjata tajam jenis celurit yang salah satunya dipergunakan membacok korban juga diamankan.
Begitu juga dua pedang serta sabuk ikat pinggang yang ujungnya terdapat gir bekas motor turut diamankan beserta tiga unit sepeda motor. Frans menyampaikan, lima dari tujuh pelaku memiliki latar belakang keluarga kurang harmonis. Orangtua mereka bercerai dan kurang mempedulikan anak-anaknya.
"Semuanya kurang diperhatikan orangtuanya, termasuk yang dua dari lima pelaku lain dari keluarga broken home. Yang dua ini berjauhan, bukan broken home. Dinamika perceraian orangtua itu mengkhawatirkan perkembangan anak," ungkapnya.
Tindakan polisi, kata dia, tetap profesional dalam menangani kasus ini. Proses hukum secara tegas dilakukan, termasuk menahan ketujuh rombongan pelaku di balik jeruji besi polisi. Menyusun berkas acara pemeriksaan juga dikebut agar kasus ini segera disidangkan dan mendapat vonis dari Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Kota Yogyakarta.
Timbul Mulyono, pensiunan kepala sekolah yang saat ini menjadi komite sekolah di salah satu sekolah di Yogyakarta, mengatakan bahwa benteng pertahanan ada di orangtua, kemudian sekolah, dan masyarakat seperti trilogi pendidikan ajaran Ki Hadjar Dewantara. Seluruh elemen masyarat harus terlibat dalam pendidikan, tidak bisa diserahkan sepenuhnya pada sekolah.
Mahasiswa S-2 Psikologi, Isnan Hidayat, melihat ada pergeseran kenakalan remaja saat ini yang bisa dikatakan darurat. Tawuran pelajar ada sejak dulu, namun yang terjadi saat ini korban tidak hanya anggota geng pelajar itu, tapi secara acak. Siapa pun bisa menjadi korban, tanpa melihat status pelajar, mahasiswa, karyawan, atau pun pegawai.
Arsitek lulusan SMA N 1 Yogyakarta, Zulfikar, melihat pemerintah Kota Yogya dinilai kurang memerhatikan tumbuh kembang remaja di era individualisme saat ini. Ruang kreativitas belum muncul, begitu juga area bermain untuk mengembangkan kreativitas remaja saat ini sangat kurang.
"Belum lagi tata ruang kota Yogya yang belum optimal, ditambah kurangnya penerangan di ruang publik. Sekitar Mandala Krida itu banyak yang menyebut 'hell' pelaku kejahatan," timpalnya.
Sukamta kembali memaparkan ada perubahan tatanan sosial di masyarakat. Rasa empati di lingkungan sudah mulai mengendur di era digitalisasi dan serbamodern saat ini. Tidak ada tempat bercerita keluh kesah sehingga energi negatif yang justru muncul merusak tatanan.
"Sekolah tidak boleh hanya mengejar prestasi anak, tapi juga melibatkan orangtua dalam mendidik anak. Pendidikan tidak hanya melibatkan guru saja, tapi juga orangtua, peran komite sekolah harus dioptimalkan," tandasnya.
Sumber : okezone.com